Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M
(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Direktur PKPBerdikari dan Peneliti Senior debtWATCH Indonesia)
Perkenalan saya dengan Roberto, aktivis permakultur, membawa saya untuk mengenal Sorgum di Bali. Kemudian ia mengajak saya untuk menghadiri Perayaan Hari Tani Nasional, sekaligus memperingati 60 tahun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Buleleng. Saya hadir bersama dengan dua teman lainnya, setelah menempuh perjalanan darat selama 4 jam dari Denpasar menuju Buleleng, untuk menghadiri seremoni perayaan sepanjang 2 jam. Penutup dari perayaan Hari Tani Nasional adalah mengajak seluruh peserta bersama-sama melakukan panen sorgum. Rupanya tempat perayaan hari tani nasional itu tepat di sebelah area kebun Sorgum. Lho kenapa Sorgum? Bukankah petani itu erat hubungannya dengan padi? Sorgum kok ada di Bali? Bukankah Sorgum hanya ada di bagian kecil propinsi NTT?
Dalam sambutannya Pak Razid, ketua Serikat Petani Suka Makmur, Buleleng bercerita:
“saya cari bibit sorgum ini ke mana-mana, saya dapat dari teman di Jawa… ini bibit asli Sorgum Bali yang sempat hilang.. asal Bapak, Ibu tahu bahwa lambang Kabupaten Buleleng itu adalah singa yang memegang sorgum… Buleleng sendiri artinya Sorgum atau dikenal juga sebagai Jagung Gembal… mengapa kita melupakan Sorgum yang sudah lama ada di tanah Buleleng?”
Saya mendengarnya dengan serius sembari mengudap hidangan yang terbuat dari Sorgum, rasanya seperti beras, tetapi lebih padat dan kenyal, mirip ketan.
Sorgum sekilas mirip tanaman jagung, karena itu di Buleleng lebih di kenal dengan nama Jagung Gembal. Di masa kerajaan Jagung Gembal ini konon dikenal sebagai tanaman Buleleng. Gusti Anglurah Panji Sakti (1660 – 1699), Raja Kerajaan Buleleng mengambil nama buleleng dari kawasan perkebunan jagung gembal atau tanaman Buleleng ini.
Kapan tepatnya Sorgum menghilang di Bali? Roberto memperkirakan ketika terjadi program transmigrasi besar-besaran terakhir di tahun 1990-an yang memindahkan petani Bali ke berbagai belahan Indonesia. Kemudian di tempat barunya para petani bali lebih memilih menanam beras. Apalagi pemerintah – pada masa itu– sedang gencar-gencarnya melancarkan program revolusi hijau, yang mendorong menghasilkan beras secara masif, mengharamkan produk pertanian lainnya. Lambat laun pengetahuan, ketrampilan, alat produksi pasca-panen, dan budaya menanam sorgum menghilang di Bali.
Penasaran, saya sempat bertanya kepada seorang anak muda asal Buleleng, apakah ia tahu tentang Sorgum, asal muasal nama Buleleng dan Jagung Gembal. Terhadap semua berondongan pertanyaan saya itu, ia hanya bisa menggeleng. Sungguh luar biasa, bagaimana sebuah program yang masif bisa menghilangkan ingatan orang akan budayanya sendiri, hanya dalam satu generasi.
Jagung gembal sebenarnya merupakan nama tanaman dalam genus Sorghum yang terdiri atas sejumlah spesies yang berbeda. Namun dalam bahasa Bahasa Bali, nama jagung gembal digunakan untuk jenis sorgum budidaya (Sorghum bicolor (L.) Moench.) Sorgum adalah tanaman dari keluarga sereal, masih satu keluarga dengan padi, jagung dan gandum. Asal tanaman sorgum diperkirakan dari daerah tropis Afrika. Namun tanaman ini telah beradaptasi sehingga bisa tumbuh di berbagai kondisi iklim mulai dari tropis, sub tropis hingga daerah gurun yang gersang. Negara penghasil utamanya antara lain Amerika Serikat, Nigeria, Mexico dan India.
Biji dari sorgum mempuntai kualitas nutrisi yang baik. Kandungan proteinnya setara jagung, namun kandungan lemaknya lebih rendah. Sorgum tidak mengandung gluten, sehingga cocok dikonsumsi bagi orang yang alergi dengan gluten.
Sorgum dibudidayakan terutama sebagai bahan pangan dan di wilayah tertentu bijinya juga digunakan sebagai bahan untuk membuat minuman beralkohol dan bahan upacara adat. Di negara-negara maju, sorgum dibudidayakan untuk digunakan batangnya atau bijinya sebagai bahan pakan, dan khusus sorgum manis, digunakan batangnya sebagai bahan membuat etanol sebagai bahan bakar maupun untuk keperluan industri. Organisasi Pangan Dunia (FAO) mencatat sebagai bahan pangan dunia, sorgum berada pada urutan ke-5 setelah gandum, padi, jagung dan barley.
Saat ini Sorgum potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain. Tanaman sorgum telah lama dan banyak dikenal oleh petani Indonesia khususnya di daerah Jawa, NTB dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama Cantel, dan biasanya petani menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya.
Produksi sorgum Indonesia masih sangat rendah, bahkan secara umum produk sorgum belum tersedia di pasar-pasar. Pertanyaan besar adalah apakah pemerintah serius melakukan diversifikasi pangan? Apakah program food estate yang digadang-gadang pemerintah sekarang sebagai lumbung pangan nasional akan memasukan Sorgum ke dalam program tersebut? (061020).