30 July 2021
Foto/Ilustrasi: Jonpey
PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua.
Ilusi bahwa kondisi pandemi di tahun 2021 akan menjadi lebih baik terbongkar sudah. Ketika jumlah kasus Covid-19 di negara-negara Utara menurun secara signifikan, jumlah penderita dan korban Covid-19 di negara-negara Selatan justru melonjak tajam. Di balik momen-momen ‘kehidupan normal’ di kawasan dan negara kapitalis maju, ada tragedi kemanusiaan di India dan kawasan pinggiran lainnya. Tak terkecuali Indonesia. Sampai tulisan ini dibuat, sudah tak terhitung kabar darurat dan duka yang saya dengar dari keluarga, kerabat, dan kawan-kawan saya. Bisa dikatakan, semua orang di Indonesia –termasuk keluarga saya– sudah terkena imbas pandemi Covid-19.
Kekalutan massal ini, hikmahnya, memaksa kita untuk berpikir kembali secara keras dan reflektif mengenai kapitalisme dan pandemi Covid-19. Sembari bertahan hidup bak seorang eksil, bromocorah, atau gerilyawan, berpikir keras bukanlah kemewahan, melainkan keharusan di sela-sela upaya, baik secara individual maupun kolektif, untuk mencari obat dan penanganan medis bagi orang-orang sekitar yang terkena Covid, untuk menggalang dana solidaritas dan ketersediaan pangan.
Bagi saya, arah dunia ke depan akan semakin tak menentu dan bergejolak. Sejak dulu saya skeptis dengan triumfalisme liberal bahwa dunia akan semakin bergerak ke arah yang lebih baik. Bahkan pengasong ide-ide liberal kelas kakap seperti Steven Pinker dan Yuval Noah Harari terpaksa menyajikan analisis yang lebih membumi, bahwa ‘kemajuan dunia’ yang mereka impikan tidak selalu mulus, bahwa masa depan dunia selanjutnya penuh dengan kontingensi dan ketidakpastian. Apa yang terjadi di depan kita semua semasa pandemi adalah pertanda pergolakan yang semakin dekat. Sebagai seorang materialis, saya tidak sepenuhnya pesimis. Tetapi, bagi saya, tidaklah terlalu spekulatif untuk mengklaim bahwa kita perlu bersiap-siap untuk menghadapi letusan politik, ekonomi, sosial, dan ekologis yang akan muncul pasca-pandemi.
Pasca pandemi, ada tiga tantangan besar yang menanti, yaitu: 1) pemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat, 2) posisi sains di tengah masyarakat, dan 3) kenaikan politik Bonapartis untuk mendukung stabilitas tatanan kapitalis.
Di titik ini, ada baiknya kita menengok kembali sejumlah argumen, perdebatan, dan diskusi yang sudah ada. Tentu saya tidak berbicara mengenai akrobatik intelektual yang buang-buang pulsa dan waktu. Apa yang dilakukan oleh para pekerja ojek online jauh lebih riil, dalam, dan bermanfaat ketimbang ‘perdebatan’ tersebut. Perdebatan yang saya maksud adalah perdebatan di kalangan gerakan sosial dan implikasinya bagi perjuangan rakyat ke depannya.
Menengok Kembali Perdebatan tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19
Ada dua argumen yang ingin saya tanggapi. Pertama, analisis Martin Suryajaya atas tatanan ekonomi dan politik dunia pasca krisis yang diakselerasi oleh pandemi. Kedua, elaborasi komprehensif mengenai asal-usul dan dampak ekonomi-politik dari pandemi Covid-19 sertakaitannya dengan krisis kapitalisme secara lebih luas yang disusun oleh kawan-kawan Intrans Institute di Malang. Ada sejumlah hal yang saya sepakati dan tidak sepakati dari analisis-analisis tersebut dan perlu kita klarifikasi ulang demi langkah kita ke depan.
Argumen Martin menurut saya baru separuh benar. Betul bahwa kali ini pandemi membawa disrupsi bagi tatanan kapitalisme global dan mau tidak mau memaksa elit negara dan kapitalis di manapun untuk mengadopsi sejumlah respon dan kebijakan beraroma ‘sosialis’ – de facto nasionalisasi atas sejumlah sektor ekonomi, subsidi skala besar, hingga resonansi gagasan ekonomi progresif seperti Universal Basic Income/Jaminan Pendapatan Semesta (UBI/Jamesta). Ada ‘tekanan struktural’ bagi para pemegang kekuasaan dan pengontrol kapital untuk menerapkan kebijakan tersebut – dengan menolong orang banyak, mereka juga menolong diri mereka sendiri. Namun, diagnosis ini baru sebagian benar. Hal yang absen dari analisis Martin adalah bagaimana kelas kapitalis besertaragam elit yang mendukungnya juga memiliki strategi untuk menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa menyelamatkan rakyat dan malah membebankan ongkos dari pandemi kepada rakyat pekerja. Kita juga dihadapkan oleh kemunafikan negara-negara kapitalis maju, yang menguasai sarana dan proses produksi vaksin Covid-19 serta suplainya, yang membuat pandemi semakin berkepanjangan.
Hal lain yang juga absen dan tidak kalah penting untuk dibahas ialah upaya aktif untuk menanggulangi dampak pandemi dan kapasitas politik untuk melakukan terobosan-terobosan politik pasca pandemi dari massa, rakyat pekerja. Apa saja inisiatif dan inovasi yang dilakukan oleh berbagai elemen dari rakyat pekerja, baik secara spontan dan organik maupun organisasional dan terkoordinir dalam mengatasi dampak pandemi, serta apa saja capaian dan batasan dari aktivitas-aktivitas tersebut? Seperti apa kekuatan politik riil dari massa sekarang dan apa langkah politik yang perlu dirumuskan setelah pandemi ini berakhir dengan kondisi massa yang terengah-engah bertahan hidup? Dengan kata lain, kita perlu membaca masalah dan merumuskan strategi-taktik yang lebih materialis.
Senada dengan kritik saya di atas, saya juga mempertanyakan prognosis dan proposal gegabah Martin mengenai tatanan politik dunia pasca pandemi. Gagasan datakrasinya terdengar lebih seperti kawin silang atau crossover mimpi-mimpi basahnya kaum libertarian pasar, fans determinisme teknologi, Budiman Sudjatmiko sang politisi boomer banyak gaya, dan golongan birokrat – baik Kanan, Kiri, maupun Tengah – yang mendambakan politik semudah menekan tombol piranti elektronik. Voila, Sim Salabim Abrakadabra! dan semuanya beres. Kritik Martin atas politik hak ada benarnya, tapi Martin mengabaikan fakta sejarah bahwa politik hak, merupakan salah satu konstituen utama dari politik manusia, setidaknya di Barat, dalam 2500 tahun terakhir. Diskursus dan konsepsi mengenai hak itu sendiri memang bisa diproblematisir dan bahkan dilampaui, tetapi mengeliminasinya sama sekali dari percakapan kita tentang politik menurut saya tidak produktif dan abai dengan peranan dan warisan dari politik hak itu sendiri. Kemudian, dikotomi simplistik antara ‘demokrasi’ dan ‘non-demokrasi’ bisa jadi mengecoh dan bahkan menipu. Faktanya, negara-negara yang mengimplan demokrasi elektoral menerapkan kebijakan lockdown dan sejumlah pembatasan mobilitas warga – sebuah hal yang tidak mengagetkan, mengingat demokrasi elektoral punya sejarah panjang membatasi hak di masa krisis, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat di masa kampanye anti-perbudakan ketika Abraham Lincoln menangguhkan habeas corpus (hak untuk diperiksa hakim dan tidak dipenjara sebelum disidang secara resmi) dan negara-negara Eropa yang membatasi aktivitas partai-partai politik yang dianggap ‘esktrimis’ di antara dua Perang Dunia. Di sisi lain, ada ruang-ruang inisiatif warga negara dan bahkan institusi-institusi demokratis dan partisipatoris di negara-negara ‘komunis otoriter.’ Pertanyaan yang lebih pas menurut saya adalah: apa argumen demokratis bagi pembatasan hak di masa pandemi dan seperti apa keputusan tersebut diambil dan diimplementasikan?
Lebih lanjut, pemaparannya dan pembelaannya atas datakrasi – setidaknya dalam versi yang ia pahami – membuang elemen-elemen politis dari operasi teknologi itu sendiri. Buat saya, sulit untuk memercayai hipotesis seperti ini. Bahkan kalau umat manusia sudah bisa tinggal di luar bumi dan terjadi interaksi antar-spesies (atau antar entitas manusia dan robotik) lintas galaksi; masyarakat dan relasi kelas kemungkinan besar tetap akan muncul. Selama ada interaksi sosial-produksi, sekalipun itu melibatkan genderuwo, plankton, mahluk Mars, atau droid Star Wars, maka relasi dan kesenjangan kelas kemungkinan besar akan selalu ada. Dengan kata lain, ini pada hakikatnya adalah persoalan ekonomi-politik dan masalah politik membutuhkan solusi politik. Apa yang seharusnya diperjuangkan bukanlah datakrasi per se, apalagi mengabsolutkannya. Apabila kita menjadikan pengetahuan dan sejarah Kiri sebagai basisnya, maka yang harusnya diperjuangkan adalah sosialisme sibernetik yang demokratis, terpimpin, dan dimotori rakyat pekerja, alih-alih datakrasi.
Analisis yang cenderung lebih analitis, materialis, dan membumi, menurut saya, dipaparkan oleh kawan-kawan Intrans. Di sini saya tidak akan banyak mengulang butir-butir pembahasan dari buku tersebut, melainkan hanya akan fokus ke beberapa bagian. Pertama, buku tersebut dengan cukup ekstensif membahas bagaimana kapitalisme turut berkontribusi kepada kerusakan alam, perpecahan metabolis antara manusia dan alam demi profit dalam tatanan kapitalis, dan pada akhirnya berkontribusi kepada merebaknya wabah penyakit termasuk Covid-19. Menurut saya, ini kontribusi penting yang perlu dibaca secara lebih luas oleh kalangan gerakan sosial di Indonesia sebagai referensi ilmiah maupun bahan diskusi untuk perumusan langkah-langkah konkret kedepannya, terutama di arena advokasi isu-isu kesehatan dasar publik, kesetaraan ekonomi, dan krisis sosio-ekologis.
Tetapi, ada satu hal yang luput dan perlu dibahas lebih lanjut, yaitu kritik internal dan simpatik terhadap eksperimen sosialis dan progresif di ranah kesehatan dan lingkungan hidup dalam berbagai bentuknya, antara lain solidaritas medis Kuba, politik ekososialisme partai-partai Kiri di Amerika Latin, dan politik Hijau di sejumlah negara Barat. Tentu saja keberhasilan dari proyek politik tersebut perlu diapresiasi, dipelajari, dan bahkan diemulasi dan diadaptasi di Indonesia. Akan tetapi, yang juga tidak kalah penting adalah melakukan kritik atas pencapaian tersebut. Kita bisa mengkritik imperialisme vaksin Barat dan mengapresiasi peranan Tiongkok dalam penyediaan vaksin bagi banyak negara berkembang dan di saat bersamaan mengkritik kualitas vaksin Sinovac dan intransparansi politik di belakangnya. Tanpa kritik internal, maka kita akan kesulitan dan bahkan gagal merumuskan solusi sosialis yang jitu terhadap persoalan kesehatan publik dan dalam masyarakat kapitalis.
Tiga Tantangan Besar pasca Pandemi
Kembali ke kondisi kita sekarang. Di Indonesia, kita menyaksikan inkompentensi pemerintah dan keabaian dari para elit – yang tidak pernah benar-benar peduli dengan rakyat pekerja – dalam menghadapi badai pandemi Covid-19. Apa yang membuat pilu dan membangkitkan amarah dari semua ini adalah fakta keras bahwa katastrofi ini bisa dihindari. Dengan penanganan yang lebih baik dan bahkan dari kacamata yang sangat utilitarian dan kapitalistik sekalipun, jumlah penderita Covid-19 dan korban kematian bisa ditekan secara lebih signifikan.
Namun, yang kita saksikan justru sebaliknya. Kebijakan yang buruk, pengabaian terhadap sains, dan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang elitis dan jangka pendek justru mendominasi penanganan pandemic Covid-19 di Indonesia. Hasilnya adalah ongkos nyawa dan kesehatan publik warga negara, terutama lapisan-lapisan paling marginal dari rakyat pekerja, yang menjadi bayarannya. Rezim Jokowi, ironisnya, melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Rezim Modi beberapa waktu yang lalu. Rakyat pekerja, pada akhirnya, hanya bisa saling menolong satu sama lain dan menolong dirinya sendiri.
Sebelum kembali mengerjakan amanat-amanat yang lebih mendesak, baik dalam hal menjaga kesehatan bersama maupun tugas-tugas di gerakan sosial, izinkan saya memaparkan seperti apa kira-kira tiga tantangan yang akan kita hadapi di masa pasca pandemi ini ke depannya.
Pertama adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat. Kapitalisme memang senantiasa mengakibatkan krisis, tetapi pandemi Covid-19 kali ini semakin memperparah krisis tersebut. Pandemi semakin memperparah ketimpangan dan di saat yang bersamaan menyatukan banyak orang, terutama kelas-kelas pekerja dan lapisan yang rentan dari apa yang disebut sebagai ‘kelas menengah.’ Bahkan menurut Bank Dunia, status Indonesia turun dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Dengan kata lain, proses-proses pemiskinan dan perampasan justru berjalan semakin intensif di kala pandemi (lihat bagaimana kapitalis raksasa seperti kapitalis vaksin alias Big Pharma dan Amazon meraup keuntungan besar selama pandemi).
Ini adalah bom waktu yang suatu saat akan meledak. Dengan kondisi publik secara umum yang babak belur dihajar pandemi, ketidakpuasan kepada kerja pemerintah, dan kondisi politik yang semakin illiberal alias represif secara perlahan, maka bagi saya tidak mengejutkan apabila terjadi letusan-letusan protes dan aksi massa di beberapa tahun ke depan. Tahun lalu, kita menyaksikan gelombang aksi massa yang besar bahkan di tengah-tengah kondisi pandemi. Ketika jumlah angka kasus dan kematian menurun dan kondisi kehidupan pelan-pelan kembali membaik, bukan tidak mungkin bahwa publik akan mengekspresikan ‘amarah demokratis’ mereka dengan jalur-jalur kontestasional.
Kedua adalah posisi sains di tengah masyarakat. Pandemi membuka fakta bahwa sikap anti-sains begitu mengemuka di kalangan elite politik, ekonomi, dan keagamaan. Tenang saja, ini bukan perkara yang khas Indonesia. Di Amerika Serikat, politisi Republikan Kanan-ekstrim seperti Marjorie Taylor Greene terus menerus mengampanyekan propaganda anti-vaksin. Tentu kita sering mendengar bagaimana misinformasi mengenai persoalan pandemi dan pengabaian terhadap sains dan ilmu pengetahuan juga marak menyebar di masyarakat. Tugas gerakan progresif ke depan adalah membangun perangai ilmiah atau scientific temper secara kontekstual dan masif di tengah-tengah massa. Politik emansipatoris haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan program sosialis haruslah mendorong demokratisasi akses kepada sains. Mungkin kita bisa sedikit menengok dan belajar dari Kerala tentang peranan gerakan Kiri dalam mendemokratisasikan sains dan mendorong kesehatan publik.
Tantangan ketiga dan yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah menguatnya tendensi politik Bonapartis dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia, para pengamat dan pengkaji politik melabeli ini sebagai illiberal turn (belokan illiberal) atau kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi ini bukan hanya persoalan kecenderungan illiberal dalam artian behavioral dan kultural, melainkan suatu fenomena struktural yang akan muncul dan menguat dalam konjungtur-konjungtur politik tertentu demi restorasi dan stabilitasi tatanan kapitalis.
Indonesia saat ini mengingatkan saya kepada Republik Weimar di Jerman (1918-1933). Capaian-capaian reformasi, sebagaimana nasib politik reformis di Republik Weimar, ternyata tidak sekokoh yang kita kira. Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia sama dengan Republik Weimar – jelas berbeda. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara konteks sejarah dunia dan kapitalisme global yang dihadapi dua entitas politik tersebut. Tetapi, Indonesia bisa belajar dari nasib Republik Weimar: dampak dari krisis kapitalisme yang akseleratif dapat berujung kepada keruntuhan tatanan liberal demokratik, krisis politik yang penuh letupan, dan kebangkitan politik otoriter.
Melihat tren politik Indonesia yang semakin mengkhawatirkan belakangan ini, serta kecenderungan lapisan oligarki, kelas kapitalis secara keseluruhan, dan elit negara pendukungnya untuk mengamankan ‘stabilitas’ bahkan dengan mengorbankan demokrasi dan nasib rakyat pekerja, maka kita perlu waspada dan bersiap dengan perkembangan ke depan.
Inilah tantangan-tantangan yang akan kita hadapi dalam beberapa tahun ke depan. Cepat atau lambat, suka tidak suka, siap tidak siap, kita akan menghadapinya. Sekali lagi, gerakan sosial dan rakyat pekerja di Indonesia kembali dihadapkan dalam sebuah situasi maha sulit dan dipaksa untuk mencari jalan keluar dari krisis yang pelik ini.***
Iqra Anugrah, co-editor IndoPROGRESS