TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak pemerintah dan DPR segera memastikan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan Aspirasi Masyarakat Adat.
Hal tersebut setelah Presiden Joko Widodo menjadi pembicaraan publik karena mengenakan baju adat Baduy saat menghadiri Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR dan DPD.
“Koalisi memandang bahwa draf RUU Masyarakat Adat yang ada di DPR saat ini tidak akan menjawab persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat tetapi justru akan semakin menjauhkan Masyarakat Adat untuk dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya,” kata Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia Agung Wibowo dalam siaran persnya, Selasa (17/8/2021).
Agung menyebut ada dua hal yang perlu ditekankan terkait posisi konstitusi dalam menghormati masyarakat adat.
“Pertama, pengakuan dan penghormatan masyarakat adat harus disertai dengan pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisionalnya,” kata Agung.
“Kedua, hak menguasai negara terhadap sumber daya alam harus dan hanya boleh dilakukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan saat ini Pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan perintah konstitusi tersebut,” katanya.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui sekjen mereka Rukka Sombolingi mengatakan hingga kini UU Masyarakag Adat belum disahkan
“Bahkan terus melemah di DPR. Malah yang disahkan adalah Revisi Undang-Undang Minerba dan Omnibus Cilaka (Undang-Undang Cipta Kerja),” kata.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rahma Mary pun menyampaikan hal serupa.
“Menghormati masyarakat adat tidak cukup hanya memakai pakaiannya saja, sementara pengakuan terhadap tanah, wilayah, asal-usul, dan budayanya diabaikan, masyarakatnya digusur dan ditangkapi,” kara Mary.
YLBHI mencatata sebanyak 88 persen konflik tanah dan sumber daya alam yang diadvokasinta tiga bulan terakhir berada di wilayah masyarakat adat.
“Apakah dengan mengenakan pakaian adat Presiden hendak merayakan kemenangan atas pengusiran masyarakat adat di bawah UU Cipta Kerja?” ujar Siti Rahma Mary.
Menurutnya, keberpihakan negara terhadap masyarakat adat sebagai kelompok rentan dan selama ini cukup terabaikan adalah sebuah keharusan dan kemendesakan.
“Menjadi tanda tanya besar pada perayaan 76 tahun kemerdekaan RI sebagai negara demokratis, dengan belum terpenuhinya aspek rekognisi, penghormatan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap para pemilik hak ulayat dan cikal bakal negeri ini,” katanya.
Sementara itu, Pendeta Jimmy Sormin selaku Sekretaris Eksekutif KKC-PGI mengatakan publik, khususnya masyarakat adat butuh dukungan yang lebih substansial daripada sekadar kemasan dengan mempromosikan pakaian adat atau karya seni masyarakat adat lainnya.
“Pemangku kebijakan dengan semangat keberpihakan dan keadilan itu, sudah seharusnya memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah lama dinantikan- sebagai sebuah kado kemerdekaan yang sejati,” kata Jimmy.