Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M
(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Peneliti pada debtWATCH Indonesia)
Saya mulai melototi Anggaran dan Perbelanjaan Negara (APBN) sejak 20 tahun lalu, di mana didalamnya ada komponen utang luar negeri. Mempelajari APBN dan komponen utang adalah salah satu bahan ajar dalam pelatihan mengenal globalisasi ekonomi yang digagas oleh debtWATCH Indonesia (dWI). Artinya hampir setiap tahun ketika APBN disahkan sebagai UU oleh DPR, substansi APBN pun dipelajari oleh dWI, dan boleh dikatakan bahwa struktur APBN tetap sama sejak 20 tahun lalu, walau menteri keuangan dan Presiden silih berganti.
Mulanya tidak mudah memahami mengapa selalu ada komponen utang dalam APBN, kemudian ada komponen defisit. Jadi secara sederhana dan cepat, setiap APBN disahkan lihat saja kedua komponen ini, apakah semakin besar, atau semakin kecil. Jika semakin besar, maka semakin rapuh APBN ini. Alokasi untuk pembangunan tergerogoti oleh utang, dan penutup lubangnya adalah sang defisit. Namun defisit akan menyisakan potensi penambahan utang untuk tahun depannya. Jika kondisi ini berlanjut, maka model pembangunan dengan pendekatan gali lubang, tutup lubang akan terjadi, dan Indonesia nampaknya menuju ke arah itu.
Kebiasaan menempatkan utang dalam APBN terdeteksi sejak jaman Presiden ke-2, Soeharto, namun pada masa itu tidak mudah untuk mendapatkan dokumen APBN utuh, biasanya hanya mendapatkan ringkasannya setelah Presiden berpidato di depan sidang DPR yang ditayangkan di media massa. Sidang DPR akan riuh dengan tepuk tangan ketika dalam pidatonya presiden menyatakan akan menaikan gaji pegawai negeri, inflasi terkendali, dan kembali kita mendapatkan kepercayaan luar negeri dengan meningkatnya bantuan yang mereka berikan. Rasanya kalimat di atas menjadi kalimat mantera yang terus diulang dalam setiap pidato Presiden. Tidak ada yang berani mempermasalahkan bahwa yang dimaksud dengan bantuan di atas adalah utang plus bunga yang perlu dibayar setiap tahunnya.
Waktu itu pencatatan utang luar negeri dan dalam negeri oleh pemerintah tidak ada. Sehingga tidak diketahui dengan pasti jumlah dan proyek mana saja yang dibiayai oleh utang. Mempertanyakan hal di atas kepada pemerintah, seperti membentur tembok tinggi dan masuk ke labirin: kejedot dan berputar-putar. Karena itu, hampir 25 tahun lalu dimulai gerakan pemantau utang maupun proyek-proyek yang didanai oleh lembaga keuangan internasional (LKI). Dalam konteks Indonesia LKI yang dipantau adalah Bank Dunia (WB), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) karena kedua bank tersebut bukan sembarang bank, tetapi bank pembangunan yang beranggotakan negara-negara di dunia, dan banyak memberi kucuran utang ke Indonesia. Sedangkan dalam konteks negara, maka Amerika Serikat dan Jepang adalah Negara yang dipantau karena kedua Negara ini memberikan proyek-proyek utang dalam jumlah besar ke Indonesia.
Karena tidak tercatat dan minim keterbukaan, maka keputusan mengambil utang untuk suatu proyek pembangunan adalah semata keputusan pemerintah. Tidak ada pengumuman ke publik, DPR tidak terlibat, apalagi rakyat kebanyakan. Sejatinya banyak proyek gagal dari utang, dalam arti uang utang sudah dikucurkan oleh kreditor namun tidak memenuhi tujuan proyek itu sendiri. Para kreditur tidak peduli, sekali pemerintah sepakat meminta utang untuk suatu proyek, mau gagal atau tidak, utang tetap harus dibayar. Dua proyek yang paling disorot oleh kelompok masyarakat sipil adalah proyek transmigrasi di berbagai belahan Indonesia dan pembangunan dam Kedung Ombo di Jawa Tengah.
Tahun 1976 program transmigrasi dihebohkan dengan adanya transmigrasi bedol 41 desa dari daerah Wonogiri Jawa Tengah ke empat desa baru di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung Sumatera Barat, yaitu Sitiung, Tiumang, Sialanggaung, dan Kotosalak. Jumlah transmigran tersebut mencapai 2.000 KK dengan 65.517 jiwa. Penduduk di Wonogiri tersebut dipindahkan karena desa tempat tinggal mereka terkena proyek bendungan Gajah Mungkur. Pembangunan waduk dengan bantuan dari Jepang sebesar 85 juta USD diharapkan berumur 100 tahun sebagai pengendalian banjir sungai bengawan solo, mengairi sawah di 4 kabupaten, memasok air bersih dan sumber listrik kota wonogiri.
Sembilan tahun kemudian, tahun 1985 dibangun waduk Kedung Ombo seluas 5.898 hektar di Jawa Tengah utamanya untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt. Total biaya yang diperlukan adalah 283 juta USD, di mana 156 juta USD dari Bank Dunia, 25,2 juta USD dari Bank Exim Jepang, dan sisanya dari APBN. Proyek ini menenggelamkan 5.268 keluarga di 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten: Sragen, Boyolali dan Grobogan.
Waduk ini mulai diairi pada 14 Januari 1989, ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Pemerintah menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air. Tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Provinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta pengadilan negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut.
Pembangunan mega proyek Waduk Kedung Ombo ini tidak diikuti dengan program perlindungan bagi korban terdampak. Akibatnya, setelah 30 tahun waduk ini beroperasi, warga di area waduk masih terjerat dalam kubangan kemiskinan berkepanjangan.
“Lahan, rumah, semua habis tak tersisa dan tidak ada simpanan apa pun,” ujar Parno saat bercerita mengenai kenangan kelam 30 tahun silam. Dia merupakan salah satu generasi pertama korban proyek pembangunan dam raksasa yang mengakibatkan banyak warga kehilangan harta benda dan mata pencaharian. Tempat tinggalnya dahulu, Dusun Kedungpring, Desa Kedungrejo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali sudah hilang tenggelam oleh air Waduk Kedung Ombo. Dia terpaksa mencari tempat tinggal baru meninggalkan kampung halamannya. Sekarang Parno tak mempunyai pekerjaan tetap. Dia menjadi buruh serabutan, termasuk buruh tani. “Dulu saya petani, sekarang buruh tani,” kata pria berumur 65 tahun ini. Selama 13 tahun sejak waduk beroperasi, Parno harus mengungsi dari kepungan air waduk. Baginya, proyek Waduk Kedung Ombo adalah mala petaka. Betapa tidak. Seandainya, tidak ada proyek itu, dia bisa mengolah lahan sawah seluas 1 hektar hasil warisan dari orang tuanya. Namun sejak 1989, sawahnya terendam air waduk sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Perubahan profesi menjadi buruh serabutan membuat kesejahteraannya merosot.[1]
Karena itu dalam doktrin hukum internasional dikenal istilah illegitimate debt atau odius debt yaitu ketika pemerintahan suatu Negara menyalahgunakan uang yang dipinjamnya dari Negara atau lembaga lain untuk kepentingan sendiri, tidak memberi keuntungan bagi bahkan malah menindas warganya.
Dalam masa pemerintahan soeharto sepanjang 32 tahun (1967 – 1998) berlaku praktik korupsi yang subur, diduga 571 juta USD uang publik dicuri untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Pada masanya dikenal istilah potongan proyek sampai 30% untuk kepentingannya agar proyek tersebut dapat berjalan.
Laporan Bank Dunia di tahun 1997 yang berjudul “Ringkasan dari pandangan staf RSI tentang masalah ‘kebocoran’ dari bujet proyek Bank Dunia” (Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of ‘Leakage’ from World Bank Project Budgets) mencatat beberapa temuan sebagai berikut: Diperkirakan setidaknya 20-30% dari dana pembangunan dialihkan untuk pembayaran informal untuk para pejabat dan politikus. Ditemukan juga adanya praktik suap dari pejabat untuk mendapatkan posisi yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan. Akibatnya, diperkirakan sebesar 10 milyar USD dari uang sebesar 30 miliar USD yang merupakan dana pinjaman dari Bank Dunia telah disalahgunakan di masa pemerintahan Suharto antara tahun 1966 sampai 1998.
Patricia Adams sang penulis buku tentang odious debt mengatakan, Bank Dunia pernah menyatakan sekitar 30 persen kucuran dana ke Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto penyaluran dananya tidak sesuai dengan tujuan proyek tersebut sehingga bisa disimpulkan telah dikorupsi. Menurut Patricia, Kuba dan Korsika juga mengalami kasus seperti itu dan akhirnya selesai dengan cara penghapusan utang. Untuk itu, pemerintah mesti membuktikan adanya penyelewengan dana itu dengan cara mengaudit ulang kucuran-kucuran utang Indonesia, baik dari Bank Dunia atau dari kreditor lain.
Sampai sekarang, walau presiden sudah berganti berkali-kali lewat Pemilu yang demokratis struktur APBN tetap sama. Tetap ada komponen defisit dan komponen utang. Bedanya cuma di kementerian keuangan sudah ada lembaga yang mengurus soal utang, artinya soal pencatatan utang Negara jadi semakin tertib, termasuk mengakses dokumen penuh APBN semakin mudah. Namun, soal negara berutang ke lembaga-lembaga pemberi utang ya masih terus berjalan, dan wacana odious debt semakin menguap dari publik.
Maka sejatinya bukan tumpukan jumlah utang yang penting dipersoalkan, tetapi efisiensi utang. Apakah utang yang dibuat oleh pemerintah benar-benar untuk tujuan utang itu dibuat, untuk kepentingan publik atau malah masuk dalam kategori odious debt alias utang najis.
[1] https://katadata.co.id/riset_team/analisisdata/5e9a57afb7c12/warisan-kemiskinan-proyek-bank-dunia-di-kedung-ombo